Oleh : Asror Al-fariyani
Setiap tiba tanggal 21 april ramai sekali perempuan-perempuan
indonesia memperingati Hari Kartini. Berbagai cara diekspresikan untuk
merayakan hari bersejarah bagi perempuan indonesia yaitu hari “emansipasi
wanita” yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan tanggal kelahiran Raden
Ajeng (RA) Kartini. Namun sekarang ini jarang yang paham betul apa makna
sebenarnya dari kata emansipasi wanita itu, terutama para wanita “sekarang”
yang tiap tahun merayakannya. Bukan sebuah prasangka negatif terhadap perempuan
zaman sekarang, hanya saja menjadi sebuah kekhawatiran bahwa hari Kartini hanya
menjadi sebuah seremonial belaka tanpa ada hal-hal positif yang bisa
didapatkan. Kering nilai dan karakter.
Berbicara masalah emansipasi wanita, semua orang tentu bersepakat
bahwa istilah itu adalah dimaksudkan untuk kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam konsep teori gender dikenal ada dua istilah yang menjadi kajian teori
tersebut yaitu nature dan nurture. Secara
etimologi nature diartikan sebagai karakteristik yang melekat, keadaan
bawaan pada seseorang, kondisi alami atau sifat dasar manusia. Nurture berarti
akumulasi dari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi kebiasaan dan
ciri-ciri yang nampak (merriam-webster). Jadi nature dapat kita
pahami bersama sebagai sifat dan kondisi biologis antara laki-laki dan
perempuan. Sedangkan nurture adalah perbedaan sifat antara laki-laki dan
perempuan yang di pengaruhi oleh faktor sosial dan lingkungan atau dapat kita
perjelas sebagai perbedaan status dan peran dalam masyarakat.
Dari pengertian diatas sebenarnya sudah jelas tersirat makna
sebenarnya dari istilah emansipasi wanita, namun oleh banyak orang sering
disalahartikan. Dengan alasan emansipasi banyak perempuan yang terkontaminasi
pemikiran “feminisme” barat. Maka tidak heran jika banyak perempuan
melanggar kodratnya sebagai perempuan karena salah paham, padahal gagasan
emansipasi RA.Kartini jauh berbeda dan mempunyai batasan-batasan dalam hal apa
saja yang harus disetarakan antara kedua jenis kelamin tersebut.
Sejenak menengok kebelakang melihat sejarah hidup RA.Kartini maka
kita akan memahami apa sesungguhnya konsep emansipasi dalam pemikirannya. RA.Kartini
adalah seorang perempuan muslim taat beragama, dan pemahaman agama yang
dimiliki mendasari keprihatinannya terhadap diskriminasi kaumnya (perempuan).
Karena Kartini tau betul bahwa dalam islam baik laki-laki atau perempuan
mempunyai derajat yang sama dihadapan Tuhan.
Sedikit
petikan surat RA.Kartini yang menggambarkan bahwa dia adalah orang yang paham agamanya:
Menyandarkan diri kepada manusia, samalah halnya
dengan mengikatkan diri kepada manusia. Jalan kepada Allah hanyalah satu. Siapa
sesungguhnya yang mengabdi kepada Allah, tidak terikat kepada seorang manusia
pun ia sebenar-benarnya bebas.[Surat Kartini kepada Ny. Ovink, Oktober 1900]
-----------------------------------------------------
Dan saya menjawab, Tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami
mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya.
Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya
tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah.[kpd Ny. Abendanon, 12 Okt
1902]
Dengan keberanian dia mulai melawan pemahaman masyarakatnya,
masyarakat jawa yang menganggap perempuan sebagai budak yang harus nurut, tidak
boleh membantah, tidak boleh keluar rumah apalagi bersekolah. Karena pemikiran
kolot masyarakatnya, toh pada akhirnya perempuan itu bekerja hanya SDK (Sumur,
Dapur, Kasur-pen). Melalui surat-surat yang ditulisnya Kartini menyampaikan
keinginannya bahwa perempuan juga berhak untuk sekolah dan menjadi terpelajar.
Keinginannya disampaikan kepada sahabat-sahabatnya belanda, yang pada akhirnya
kumpulan surat itu menjadi sebuah buku yang berjudul “habis gelap terbitlah
terang”.
Dari
kisah hidup RA.Kartini tersebut pahamilah – terutama kaum perempuan – bahwa
perjuangan Kartini untuk kaum perempuan adalah emansipasi yang didasarkan pada
kesetaraan dalam ajaran agama dan penuh dengan nilai luhur bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki derajat yang sama dihadapan Tuhan. Perempuan berhak atas
kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mendapat pendidikan, status dan peran
dalam masyarakat. Tapi tetap dalam koridor dan tidak menyalahi kodrat sebagai
perempuan sehingga tidak menjadi “emansipasi yang kebablasan”.
***Semoga
Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar